Thursday 1 December 2011

2 Tahun di SMA Labschool Kebayoran


Saya memulai hari-hari di SMA Labschool Kebayoran dengan sebuah teriakan di pagi buta. Adalah kegiatan MOS yang mengawali perjalanan saya yang seharusnya 3 tahun di SMA Labschool Kebayoran, yang nyaris menjadi 2 tahun, dan nyaris menjadi 4 tahun.
MOS adalah kegiatan yang tak akan saya lupakan. Saya tidak mengenal siapapun di Labschool Kebayoran, merasa sebagai seorang asing dalam suatu komunitas. Namun berkat program yang dirancang sedemikian rupa, kami bahkan diajari untuk saling tolong dengan teman yang baru dikenal 15 menit yang lalu. Saat yang membuat saya jadi memiliki banyak kawan adalah saat pertandingan futsal melawan senior dalam rangkaian  acara MOS. Saya mencetak beberapa gol, meraih kemenangan, dan yang terpenting, saya mengenal banyak orang yang menjadi kawan saya di kemudian hari.
Awal dari cerita pendidikan saya di SMA Labschool adalah dengan bergabung dalam kelas akselerasi. Dimana program SMA yang seharusnya 3 tahun dipercepat menjadi 2 tahun. Bergabung dengan kelas akselerasi adalah sesuatu yang luar biasa, saya bertemu belasan karakter unik dengan kemampuan berpikir yang luar biasa baik. Meskipun saya terhenti di tengah perjalanan, namun saya tidak menyesali keputusan saya untuk pernah mencicipi kelas akselerasi.
Di kelas akselerasi, tuntutan dan tekanan begitu tinggi. Saya bahkan, secara tidak dapat dipercaya, dapat mengganti kegiatan bermain dan tidur dengan satu kata yang tabu bagi sebagian besar pelajar, yaitu belajar. Hal tersebut membuat saya betul betul kelelahan, dan bukannya banyak menyerap pelajaran dengan banyak belajar, namun justru banyak absen dari sekolah karena sakit akibat memaksakan diri.
Terlepas dari masalah akademik, masa kelas 10 adalah masa-masa yang tak akan pernah dapat dilupakan. Berbagai kegiatan menarik mulai dari MOS, Trip Observasi di kampung pasir muncang, dan terakhir, pelatihan mental ala militer dalam kegiatan BINTAMA.
Kegiatan Trip Observasi bisa dibilang salah satu yang paling menarik. Pada saat itu, saya menumpang tinggal di sebuah rumah penduduk desa. Rumah yang begitu sederhana dan bersahaja. Saya dan kawan sekelompok merasakan kehidupan di sebuah kampung di daerah yang masih dipenuhi pepohonan. Bekerja di sawah bersama kerbau, menjelajah, dan melakukan penelitian.
Yang terpenting dari trip observasi adalah, acara penempaan mental, karakter dan fisik, yang akhirnya melahirkan sesuatu dengan kekuatan yang luar biasa. Saya, dan kawan kawan saya yang lain, telah disatukan dibawah sebuah nama, Nawa Drastha Sandyadira, Sembilang Yang Bermahkotakan Persatuan Yang Kuat.
Di akhir kelas 10, adalah saat dimana saya harus kembali ke jalur regular, saya awalnya merasa sedih harus meniggalkan teman yang selama satu tahun terakhir telah bersama sama berjuang melawan himpitan waktu dan tuntutan pelajaran. Menghadapi tekanan tinggi, dan kelelahan oleh tugas.
Saya resmi ter degradasi dari kelas akselerasi pada Juni 2010. Sejak hari itu, saya dikembalikan ke kelas regular. Namun pada akhirnya, saya samasekali tidak menyesali keluarnya saya dari kelas akselerasi. Kini saya memiliki pengalaman yang tidak dimiliki kawan di akselerasi, dan pengalaman yang tidak dimiliki kawan kelas regular : mencoba keduanya, baik program akselerasi maupun regular di SMA Labschool Kebayoran
Ketika saya berada di kelas akselerasi, saya tergabung dalam MPK, dan sempat merasakan lari sejauh 17 kilo meter sebanyak 2 kali. Namun sekeluarnya saya dari kelas akselerasi, saya justru dapat lebih aktif berkegiatan di luar sekolah dengan kesibukan yang unik, seperti Kongres Anak Indonesia 2010, Forum Anak Nasional 2011, dan Forum Pelajar 2011. Hal tersebut rasanya tak akan dapat saya jalani jika saya masih berada di kelas akselerasi
Meski demikian, kembali ke kelas regular telah menyebabkan sesuatu yang buruk. Saya kehilangan daya juang yang selama ini saya miliki di kelas akselerasi. Sejak kembali ke kelas regular, kebiasan tidur sedikit dan banyak belajar perlahan luntur hingga puncaknya saya menjadi sangat malas, saya akui hal tersebut, saat saya berada di kelas 11. Hal itu seakan pelampiasan kelelahan saya selama 1 tahun di kelas akselerasi (1,5 tahun menurut hitungan akselerasi). Ternyata cukup sulit untuk menjaga momentum rajin. Sekali malas, akan sulit lepas.
Terlepas dari baik buruknya kembali ke kelas regular, saya baru menyadari suatu hal, bahwa ada sebuah kesamaan dari kelas akselerasi, maupun kelas regular, yaitu, dimanapun kita berada, akan selalu ada teman-temang yang baik, loyal, dan menyenangkan. Mereka semua, adalah orang orang yang tergabung dibawah nama besar, Nawa Drastha Sandyadira. Baik akselerasi maupun regular, kami semua adalah angkatan Sembilan dengan mahkota berupa persatuan yang kuat. Saya menemukan teman yang tak kalah baik dengan mereka yang saya jumpai di akselerasi. Meskipun kawan dari kelas akselerasi tak tergantikan, namun kawan di regular adalah diri mereka sendiri yang juga tak dapat tergantikan.
Saat dimana saya begitu merasakan persaudaraan yang dimiliki oleh angkatan 9, adalah saat saya berada di kelas 11. Pada masa itu, saya mengikuti sebuah kegiatan kompetisi futsal antar kelas, dimana secara normal, tak lepas dari perselisihan dengan senior. Pada saat itu, saat terjadi konflik, saya betul betul merasa bahwa ada perasaan dan kemauan untuk saling menjaga dan melidungi diantara sesama angkatan 9.
Masa kelas 11, adalah masa dimana saya beralih dari seorang pelajar yang selalu berjuang siang dan malam, menjadi seekor nocturnal yang bekerja paruh waktu sebagai pelajar. Entah kenapa, saya merasa begitu lelah saat sampai ke rumah, dan selalu memilih untuk tidur. Puncaknya adalah smester 2, dimana kemalasan saya belum hilang, dan saya baru berusaha pada pecan terakhir menjelang ujian akhir tahun. Bukan hal mudah untuk menyelamatkan nilai, dan saya hanya berjarak sehelai rambut dengan kategori tidak naik kelas karena nilai merah di salah satu mata pelajaran IPA.
Satu sosok yang saya wajib saya ucapkan terimakasih, adalah wali kelas saya di kelas sebelas. Seorang guru olahraga yang tegas, dan yang paling penting, tak pernah bosan memarahi saya, dengan gaya seorang pelatih yang memotivasi  anggota tim olahraga yang nyaris kalah. Beliaulah yang selalu mendorong saya untuk melakukan lebih baik, dan selalu berusaha untuk memperbaiki diri.
Hari ini, saya yang menulis autobiografi ini, adalah siswa kelas 12, yang bersiap menghadapi ujian nasional. Selayaknya siswa tahun terakhir, saya telah mempersiapkan kemana saya akan melanjutkan pendidikan. Yang jelas, saya masih menyimpan mimpi saya sejak SD. Bisa dibilang, saya cukup konsisten dengan mimpi itu, dan tidak terpengaruh tren major pendidikan lain seperti arsitektur, bisnis atau fakultas apapun. Sejak 10 tahun lalu, visi saya terfokus pada suatu hal, yaitu benda penuh daya tarik magis dengan layar dan beberapa tombol, komputer. Suatu hari, saya, Ahmad Zakky Robbany, seorang siswa biasa di kelas 12 IPA 2 SMA Labschool Kebayoran, ingin menjadi programmer, dan saya tak pernah merasa perlu untuk mengubah mimpi saya itu.
Saat ini, yang saya lakukan adalah berusaha menggapai mimpi yang telah 10 tahun berada di hati dan fikiran saya. Perlu usaha keras untuk itu, dan saya harus kembali menjadi sosok diri saya di kelas 10. Meski saya sebenarnya telah terdaftar di salah satu universitas terbaik di bidang computer di Negri ini, namun tak ada salahnya mencoba untuk menjadi lebih baik.

No comments:

Post a Comment